
MANAJEMEN-TI.COM — Transformasi digital, istilah yang seksi tapi banyak disalah fahami. Ada beberapa kesalahan yang umum ditemui terkait pengartian istilah tersebut. Sebagian ada yang mengatakan kalau transformasi digital itu sama dengan berpindah jualan ke online. Jadi kalau perusahaannya sudah mulai melakukan penjualan produk dan layanannya secara online, maka dia sudah berani mengatakan bahwa perusahaannya sudah melakukan transformasi digital. Ada juga yang memahami bahwa transformasi digital itu adalah mendigitalisasikan kondisi bisnis yang dijalankan perusahaan saat ini. Jadi bisnisnya tetap sama, hanya didigitalisasi saja. Ada juga yang mengatakan telah melakukan transformasi digital tanpa mempertimbangkan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh para pelanggannya. Sementara ada juga yang lebih memilih menyaksikan orang banyak berbicara tentang transformasi digital, namun tidak melakukan apapun. Mudah-mudahan Anda yang sedang membaca ini bukan termasuk kategori yang terakhir ini.
Mendefinisikan Transformasi Digital
Lalu bagaimana sebenarnya Transformasi Digital itu seharusnya didefinisikan? Ada banyak pihak yang mendefinisikan. Disini saya hanya mengutip beberapa yang cukup mewakili definisi-definsi yang lain.
Gartner mendefinisikannya sebagai penggunakan teknologi-teknologi digital untuk mengubah model bisnis dan menghasilkan potensi pendapatan baru serta peningkatan penciptaan nilai dari bisnis. Ia merupakan proses berpindah ke arah bisnis digital. Sementara bisnis digital didefinisikan sebagai bisnis yang menciptakan desain bisnis baru dengan menghilangkan pemisah antara dunia digital dan dunia fisik[1]. Bisnis digital dapat pula didefinisikan sebagai bisnis yang penciptaan nilainya secara signifikan dilakukan melalui pemanfaatan teknologi digital. Dalam perjalanan digitalisasi tersebut, seringkali perusahaan akan mengganggu model bisnis dan pasarnya sendiri. Hal tersebut dilakukan sebelum para kompetitornya melakukan trasformasi digital supaya dapat bertahan[2]. Kita mungkin juga ingat dengan dilema inovasi. Apabila inovasi dilakukan, maka seringkali bisnis eksisting akan terganggu. Tapi kalau tidak dilakukan, cepat atau lambat bisnis akan mati sendiri digilas zaman. Kira-kira seperti itulah seharusnya transformasi digital didefinisikan. Komponen utamanya adalah inovasi dan transformasi yang dibutuhkan untuk menciptakan nilai pada dunia ekonomi digital.
Dengan definisi tersebut diatas, banyak pihak mengatakan bahwa transformasi digital itu bukan lagi sebuah opsi, melainkan sebuah keharusan[3]. Hal ini berlaku untuk semua sektor industri dan hampir di setiap wilayah di dunia ini. Pilihannya adalah transformasi digital atau tenggelam.
Pertanyaan Strategis
Ketika akan mulai melangkah untuk melakukan transformasi digital, banyak pertanyaan strategis yang biasanya diajukan oleh para eksekutif bisnis. Diantaranya adalah kalau kami masuk ke dunia digital, siapa yang akan menjadi pesaing kami. Kapan sebaiknya kami mulai harus bertindak. Manfaat apa yang kami dapat dari transformasi ini untuk bisnis kami? Kapabilitas apa yang kami perlu miliki dalam era digital itu. Bagaimana dampaknya terhadap para pelanggan eksisting kami. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sering diangkat menghadapi fenomena transformasi digital ini.
[Baca juga: Yakinkan Saya ERP memang Bernilai]
Lalu Apa yang Harus Dilakukan?
Everything starts with a dream
Segalanya bermula dari impian. Tak terkecuali dengan transformasi digital, juga mesti dimulai dengan impian pimpinan organisasi. Pemimpin organisasi mesti sudah memiliki bayangan akan ke arah mana bisnisnya akan digerakkan pada era digital ini. Kemana perusahaan akan dibawanya agar terus bertahan dan tumbuh di era disrupsi digital ini.
Secara umum, kita dapat membagi tahapan transformasi ini dalam 3 (tiga) tahapan besar, yaitu: (1) tahap imajinasi; (2) tahap implementasi; dan (3) tahap transformasi. Tahapan ini pada prinsipnya mirip dengan tahapan dalam manajemen investasi yang telah dijelaskan pada artikel sebelumnya, yaitu: (1) fase persiapan (business case); (2) fase implementasi (program management); dan (3) fase realisasi manfaat (benefit realization).

[Baca juga: Sudah Perencanaan Lalu Apa?]
Setiap tahapan tersebut akan dibedah lagi dalam 3 (tiga) perspektif, yaitu: (1) aspek inovasi bisnis; (2) aspek teknologi/digital; dan (3) aspek penciptaan nilai (value).

Tahap #1: Imajinasi
Pada tahapan “imajinasi”, perlu dirumuskan bagaimana inovasi bisnis yang dibayangkan akan dilakukan pada era digital saat ini dan akan datang. Setelah bayangan bisnis perusahaan masa depan sudah didapatkan, maka yang perlu difikirkan berikutnya dalam tahap ini adalah bagaimana strategi teknologi/digital yang perlu diambil untuk memungkinkan inovasi bisnis yang dibayangkan tersebut dapat terwujud. Kemudian nilai apa yang dapat dijanjikan (value proposition) akan diperoleh bisnis dengan strategi teknologi tersebut.
Tahap #2: Desain
Pada tahapan Desain, bayangan inovasi bisnis yang disepakati di tahapan sebelumnya akan dirancang lebih detail model bisnisnya. Rancangan model bisnis ini kemudian dijadikan dasar untuk merancang Arsitektur enterprise hingga roadmap implementasi untuk rancangan digital yang mendukungnya berdasarkan strategi digital yang telah disusun pada tahapan imajinasi. Rancangan arsitektur teknologi digital ini juga tetap mempertimbangkan desain nilai yang diharapkan dapat tercipta dari implementasi digitalisasi tersebut.
Tahap #3: Transformasi
Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dalam satu siklus transformasi digital. Karena pada tahap ini, apa yang dibayangkan pada tahapan imajinasi dan dirancang di tahap “desain” akan benar-benar diterapkan dalam operasional bisnis organisasi. Pada tahap ini model bisnis yang sudah dirancang sebelumnya diimplementasikan. Teknologi digital yang dirancang dan dibangun akan Go Live ke lingkungan bisnis real sesuai dengan model bisnis yang direncanakan. Serta tak kalah pentingnya, penerapan model bisnis baru berbasis digital ini mesti terus dipantau untuk memastikan nilai bisnis yang optimal bagi bisnis benar-benar terealisasikan.
Keberhasilan transformasi digital yang dilakukan perlu terus selalu dipantau dan diukur kinerjanya. Sehingga dapat selalu ditingkatkan dan dikembangkan terus menerus mengikuti dinamika bisnis. Pada setiap siklus dapat dipantau dan dievaluasi bagaimana tingkat kematangan dari transformasi digital yang dilakukan. Tingkat kematangan ini mencakup sejumlah aspek termasuk pelanggan, strategi, teknologi, operasional, organisasi maupun budaya yang berlaku di organisasi.
[Baca juga: Permen BUMN dan COBIT Assesment]
Jadi, banyak hal yang harus diperhatikan untuk melakukan transformasi digital ini. Baik pada saat merencanakan, mengimplementasikan maupun ketika transformasi itu sudah dijalankan. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi ia dapat dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan. Jangan merasa aman di zona nyaman bisnis Anda saat ini. Apalagi sudah puas hanya menjadi pengamat lalu bilang “Wow” pada banyak bayi bisnis baru yang menggerus bisnis perusahaan yang sudah lumutan di suatu sektor. Mulailah dengan bermimpi, kalau sekarang belum punya mimpi. Lalu lanjutkan dengan mendetailkan ke rancangan yang lebih konkret dan mulai bertransformasi. Think big, start small, act now. Semangat! [mti/adm/picture:cio]
Penulis: Umar Alhabsyi, ST, MT, CISA, CRISC.
Founder & CEO iValueIT Consulting (PT IVIT Konsulindo)
Twitter: @umaralhabsyi
[1] Lopes, 2014
[2] Daugherty et al., 2016, Ernst & Young, 2011. Desmet et al. 2015.
[3] Dreischmeier et al., 2015.
2 comments on "Transformasi Digital: Tahapan yang Harus Dilalui"