transformasi digital

MANAJEMEN-TI.COM — Transformasi digital sudah menjadi jargon sakti yang laris digunakan beberapa tahun belakangan. Banyak direksi dan pimpinan perusahaan yang menyebut-nyebut jargon sakti itu ketika ditanya mimpinya ke depan untuk memajukan perusahaan yang dipimpinnya. Istilah lain yang juga mungkin sering didengar adalah Industry 4.0, artificial intelligence, Internet of Things, Blockchain, dan lain-lain yang keren-keren walaupun sebagian besar pengucapnya diduga kuat tidak faham “makhluk” apakah ia sebenarnya.

(Baca juga: 75 Juta Pekerjaan akan Hilang, Berganti 133 Juta yang Baru)

Mereka terkesima dengan tumbuhnya binis-bisnis baru berbasis teknologi yang merusak tatanan industri yang telah berpuluh tahun dibangun dengan darah, keringat dan milyaran dolar. Mereka kaget dengan munculnya bisnis seperti “Go-Jek” yang hampir tak punya aset tapi bisa punya nilai peruahaan melampaui “Garuda Indonesia” atau “Blue Bird” yang punya aset jutaan atau milyaran dolar.  Sebelumnya kita melihat misalnya perusahaan plat merah seperti PT Pos yang dibuat termehek-mehek akibat teknologi yang memunculkan pesaing-pesaing dengan skala perusahaan jauh lebih kecil tapi bisa punya layanan yang lebih maknyus pada pelanggan-pelanggan tradisionalnya. Lalu mereka juga banyak yang heran dengan suramnya bisnis travel agent tradisional karena dilindas oleh perusahaan kemarin sore yang tiba-tiba meraksasa dengan senjata teknologi dan layanan yang prima. Dan masih banyak lagi fenomena bisnis yang sama sekali tak terbayangkan sebelumnya.

(Baca juga: Gojek jadi Satu-Satunya Perusahaan ASEAN dalam Fortune 50)

Semua ini kemudian mengarahkan para pimpinan perusahaan yang tergalaukan itu kepada satu suara, yaitu: perubahan atau transformasi. Bahwa zaman sudah berubah, karena itu kalau mau perusahaan tetap ada dan terus tumbuh maka yang harus dilakukan adalah Transformasi Digital. Begitulah kira-kira jalan pikiran sederhana yang melanda para pemimpin perusahaan belakangan ini.

Berbekal arahan “transformasi digital” itu kemudian pasukan dibawahnya menerjemahkannya dengan beragam bentuk. Mereka mulai merancang anggaran investasi untuk pembelian berbagai produk dan layanan untuk menunjang arahan transformasi digital perusahaan yang disabdakan pimpinannya tersebut. Banyak diantara mereka yang seolah mengalami amnesia, terlupa bahwa implementasi teknologi itu bukan sekedar beli sistem berikut infrastrukturnya dan jalan. Mereka lupa bahwa sebagian besar investasi TI itu dulu gagal antara lain disebabkan karena investasi tidak dikelola dengan benar pada seluruh siklusnya. Dari mulai tahapan perencanaan, pengelolaan program hingga realisasi manfaat pasca implementasinya. Sehingga kalau kesalahan yang sama diulang lagi sekarang, maka peluang kegagalan transformasi itu akan menjadi semakin besar. Dampaknya juga berpotensi semakin katastropik bagi bisnis perusahaan.

(Baca juga: Sistem ERP sudah Mati?!)

Tulisan ini akan sedikit meninjau ulang komponen-komponen penting dari manajemen investasi TI yang perlu diperhatikan. Agar dana yang semakin harus hati-hati dikeluarkan dapat berpeluang besar memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi perusahaan sesuai dengan yang diharapkan.

Manajemen Investasi

Secara umum manajemen investasi terdiri atas tiga komponen utama. Pertama adalah business case, yang sangat krusial dilakukan pada tahapan memilih dan mengevaluasi program investasi yang tepat. Kemudian yang kedua adalah program management, yang mengelola seluruh proses yang terkait dengan eksekusi dari program-program investasi yang telah ditetapkan. Kemudian yang ketiga adalah realisasi manfaat (benefit realization), yang akan secara aktif mengelola realisasi manfaat dari program yang telah dijalankan.

Business Case

business case cost benefitSebuah business case yang dibuat secara cukup komprehensif sangat kritikal peranannya pada kesuksesan dari program investasi yang direncanakan. Sayangnya sangat sedikit perusahaan yang mampu dalam menyusun dan mendokumentasikan hal yang satu ini. Seperti sebuah studi yang dilakukan oleh Cranfield University School of Management yang menemukan bahwa walaupun 96 persen responden mengatakan telah membuat business case pada hampir seluruh investasi TI nya, namun ternyata 69 persen diantaranya tidak puas dengan efektifitas pembuatan business case tersebut. Mereka tidak merasakan manfaat apa yang diperoleh dengan adanya mereka menyusun business case tersebut.

Saya sendiri sering melihat praktik business case yang dibuat di beberapa perusahaan BUMN kita. Memang ada Permen BUMN yang mendorong untuk membuat business case pada setiap rencana investasi TI yang akan dilakukan. Tapi ya sederhana dibuatnya, dan saking sederhananya sampai tidak jelas fungsinya terkait dengan manajemen investasi. Selain tentunya sebagai formalitas persetujuan anggaran.. Ehm!

(Baca juga: Permen BUMN dan COBIT Assessment)

Secara umum, business case mestinya terdiri dari sekumpulan asumsi-asumsi bagaimana nilai (value) bisa tercipta dari investasi yang akan dilakukan tersebut. Asumsi-asumsi ini tentunya tidak boleh dibuat asal-asalan, tapi mesti sudah diuji dengan baik untuk memastikan bahwa hasil yang diharapkan memang dapat tercapai.

Business case juga mesti memiliki sejumlah indikator-indikator baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang memadai dikaitkan dengan asumsi-asumsi yang dibuat sehingga memudahkan pengambil keputusan untuk mengambil keputusan-keputusan investasi maupun kelak untuk mengevaluasi keberhasilannya.

Program Management

Seperti disinggung di awal, merealisasikan nilai bisnis bukan sekedar pengadaan teknologi belaka. Tapi ia tentang menggunakan TI bersama dengan perubahan-perubahan yang dibawanya pada praktik bisnis, proses-proses bisnis, cara kerja dan kompetensi individu-individu, berikut struktur organisasinya. Semua perubahan dan kemampuan yang dibutuhkan untuk memungkinkan perubahan-perubahan tersebut, harus difahami, didefinisikan, dimonitor dan dikelola dalam sebuah program perubahan bisnis yang komprehensif dimana TI berperan di dalamnya.

Program management yang efektif menuntut pemeliharaan fokus yang konsisten pada outcome bisnis yang diinginkan, pemahaman mengenai lingkup seluruh inisiatif yang dibutuhkan untuk mencapai outcome, pemahaman mengenai hubungan antar inisiatif-inisiatif yang berjalan dan bagaimana kontribusi inisiatif tersebut pada outcome yang diharapkan. Termasuk pula terkait dengan asumsi-asumsi yang diambil berkenaan dengan kontribusi-kontribusi dan outcome yang diharapkan tersebut. Hal ini menuntut fungsi TI dan bagian-bagian lain dari bisnis dapat bekerja sama secara erat, dimana masing-masing pihak memahami peran dan tanggung jawab masing-masing serta akuntabilitas yang mereka tanggung bersama-sama.

Benefit Realization

benefit realizationRealisasi manfaat ini sangat penting karena berbagai alasan. Pertama karena tidak semua manfaat itu setara. Val IT membedakan manfaat dalam dua kategori. Manfaat kategori pertama adalah yang disebut dengan “manfaat bisnis”  (“business benefits”), yang berkontribusi secara langsung pada nilai (value) bisnis organisasi. Sedangkan kategori manfaat yang kedua adalah “manfaat antara” (“intermediate benefits”), yaitu yang tidak secara langsung menciptakan nilai, walaupun mungkin bermanfaat untuk sebagian pemangku kepentingan (stakeholders) organisasi. Misalnya perbaikan pada bagian tertentu dari pelayanan pelanggan yang tidak berkontribusi langsung pada peningkatan keuntungan dapat dikategorikan pada jenis “manfaat antara” ini.

(Baca juga: Val IT dan Manajemen Nilai TI)

Pertimbangan lainnya adalah bahwa manfaat tidak dapat begitu saja terjadi dan jarang sekali realisasinya dapat sesuai dengan rencana. Sehingga fokus pada realisasi manfaat akan membantu mengatasi tantangan-tantangan ini dengan secara aktif mengelola investasi-investasi organisasi pada seluruh siklus ekonominya. Sejak proposal sampai dengan meningkatnya keuntungan atau kinerja organisasi.

Benefit realization memastikan bahwa manfaat-manfaat antara (intermediate benefits) –seperti halnya peningkatan layanan pelanggan tadi—dapat berkontribusi menjadi manfaat bisnis (business benefits) – seperti peningkatan keuntungan organisasi.

Lebih jauh benefit realization ini memastikan bahwa realiasi dari manfaat-manfaat bisnis dapat terus berkembang sampai setidaknya pada tingkatan yang sepadan dengan usaha dan sumber daya yang dikeluarkan untuk mendapatkan manfaat-manfaat tersebut. Tanpa benefit realization yang efektif maka nilai yang optimal sulit untuk diciptakan, atau mungkin lebih buruk lagi, nilai malah terkikis atau hancur berkeping-keping.

Selamat berinvestasi, selamat bertransformasi digital. [mti/adm]

Penulis: Umar Alhabsyi, ST, MT, CISA, CRISC.

Founder and CEO of iValueIT Consulting (PT IVIT Konsulindo)