
MANAJEMEN-TI.COM – Bisnis jaman now bertumpu pada tiga faktor utama: kecepatan dan kelincahan, inovasi, serta customer experiences. Sistem ERP dalam berbagai bentuk dan jenisnya yang ada saat ini bisa dibilang tidak memiliki ketiga faktor diatas.
Teknologi ERP berevoluasi selama beberapa dekade belakangan dari hanya sebuah paket aplikasi stand-alone, hingga kumpulan modul aplikasi yang saling terhubung (best of breed), sampai dengan sebuah paket aplikasi terintegrasi yang didorong oleh cita-cita mulia yaitu mengintegrasikan keseluruhan fungsi bisnis perusahaan dalam sebuah paket aplikasi. Sebuah cita-cita yang luhur tapi di sisi lain berdampak pada bisnis menjadi tidak fleksibel, lambat berubah, dan membutuhkan biaya besar untuk implementasi dan pemeliharaannya. Cerita-cerita mengerikan tentang gagalnya proyek-proyek ERP sudah menjadi tumpukan legenda. Penelitian terbaru mengatakan bahwa sekira 30 persen implementasi ERP gagal untuk mencapai bahkan separuh dari manfaat bisnis yang direncanakan.
Diantara deretan contoh tersebut termasuk misalnya Waste Management yang menuntut SAP sebesar 500 juta dollar. Anjloknya keuntungan dari Hershey Foods sebesar 19 persen akibat keggalan implementasi SAP. Implementasi ERP senilai 100 juta dollar di FoxMeyer Drugs yang gagal total. Tak kurang mencengangkan bagamana US Navy telah menghabiskan lebih dari 1 Milyar dollar untuk empat sistem ERP berbeda dan gagal maning, gagal maning.
(Baca juga: IBM diputus Kontrak Setelah Telat 42 Bulan dan Anggaran Bengkak 60 Juta Dolar)
Tentu cerita-cerita itu adalah sisi horor dari implementasi ERP. Tidak sedikit pulah kisah-kisah indah dari implementasi ERP yang berhasil memberikan manfaat yang besar bagi perusahaan. Seperti cerita manis dari IBM yang berhasil melakukan penghematan 12 milyar dolar dalam 2 tahun setelah mereka berhasil mengintegrasikan proses bisnis rantai pasokannya. Atau kisah indah perusahaan-perusahaan seperti Great West Life, LG, Southwest Airlines, dan berbagai perusahaan lain di dunia. Sistem ERP itu memang bagus dan dibutuhkan, tapi implementasinya membutuhkan energi dan perhatian yang besar dari seluruh pemangku kepentingan dalam organisasi. Otherwise, kisah romantis akan segera berubah menjadi horror.
(Baca juga: Risiko Maut Implementasi ERP)
Serbuan revolusi digital beberapa waktu belakangan sepertinya telah mereformasi paradigma yang biasa dibawa oleh para vendor solusi ERP. Janji-janji indah solusi yang dibawa vendor-vendor itu sepertinya sudah mulai basi. Apa yang sebenarnya terjadi?
Pertama, pada era digital seperti sekarang ini yang jadi fokus utama bagi bisnis adalah pelanggan dan fleksibilitas/kelincahan dalam menghadapi kompetisi yang semakin dinamis.
Bisnis masa kini dituntut untuk lebih outward-looking. Secara tradisional, sistem ERP mencakup perencanaan, manufaktur, penjualan, pemasaran, distribusi, akuntansi, keuangan, SDM, manajemen proyek, manajemen inventory, manajemen pemeliharaan, transportasi dan fungsi-fungsi lain yang terkadang juga disediakan dalam paket solusi ERP.
Dengan melihat modul-modul yang disediakan diatas saja terlihat bahwa sistem-sistem ERP itu kurang menggunakan pendekatan outward-in, seperti bagaimana menangkap customer experience, customer journey mapping, omni channel, end-to-end mobile experiences, dan lain-lain.
(Baca juga: Profesi Akuntan sudah Mati? Benarkah?!)
Bisnis modern semakin bersemangat untuk melakukan transformasi digital. Teknologi yang digunakan bisa beragam, namun yang pasti solusi baru tersebut mesti memungkinkan lebih banyak interaksi dan antarmuka yang memungkinkan perusahaan bisa lebih lincah bergerak. Perkembangan ini juga menggeser paradigma lama untuk sebisa mungkin mengimplementasikan sebuah sistem besar seperti ERP yang mencakup segalanya. Paradigmanya mesti bergeser ke implementasi aplikasi-aplikasi yang lebih kecil, dinamis dan bersifat loosely coupled satu dengan lainnya.
Hal ini tentu membuat platform integrasi menjadi hal yang sangat penting untuk dipikirkan, baik integrasi pada tingkatan data, proses maupun aplikasi. Termasuk juga dalam hal manajemen hubungan dengan vendor yang semakin banyak.
Pssst…faktanya, pada banyak implementasi ERP tetap masih ada saja effort yang perlu dilakukan untuk bangun interfacing, rekonsiliasi data semi manual, dan sejenisnya. Dus, manfaat utama dari ERP yang sering dijadikan bahan jualan yaitu sebuah sistem yang mengintegrasikan perusaahaan menjadi dipertanyakan pula.
Kedua, cacat pada core sistem ERP sulit untuk diperbaiki sambil jalan.
Dalam banyak hal, pendekatan ERP dapat dianalogikan dengan membangun sebuah gedung. Sering terjadi permasalahan yang terdapat pada implementasi ERP dicarikan jalan keluarnya dengan modifikasi-modifikasi tanpa melalui analisis yang cukup komprehensif. Padahal tak jarang yang menyebabkan permasalahan itu adalah kelemahan yang cukup mendasar pada core sistem ERP nya. Hal ini seperti melakukan perbaikan cacat pada fondasi gedung dengan menambal dinding-dinding bangunan yang ada diatasnya. Mungkin akan terlihat baik-baik saja dalam jangka pendek, tapi dapat membahayakan dalam jangka panjang.
Ketiga, keyakinan sementara kalangan bahwa aplikasi ERP SaaS (Software as a Service) akan memecahkan semua permasalahan.
Para pembeli SaaS atau cloud pada umumnya kurang dapat menuangkan kebutuhan mereka secara cukup detail dan komprehensif. Sehingga mereka juga sulit untuk mengidentifikasi kekurangan-kekurangan dari penawaran SaaS yang masuk. Hal ini sepertinya karena asumsi yang salah bahwa ERP SaaS itu fleksibel dan akan memenuhi apapun permintaan mereka nantinya. Mesti dipahami bahwa cloud tidak selalu berarti lebih cepat, lebih murah atau lebih mudah. Segala sesuatunya tetap perlu perencanaan yang baik.
Biasanya para vendor berjanji akan memberikan update fitur-fitur baru secara reguler. Tapi siapa yang menjamin bahwa update-update tersebut akan sesuai dengan kebutuhan inovasi Anda. Inovasi itu kan sebuah proses, bukan aplikasi.
Permasalahan lain yang biasanya muncul adalah soal integrasi. Mengingat kompleksitas dan pengembangan aplikasi dan layanan, maka kompleksitas integrasi akan terus menjadi sebuah moving target.
(Baca juga: Integrasi Aplikasi: Sebuah Proyek Tanpa Akhir?)
Sistem ERP Masa Depan
Implementasi sistem Enterprise di masa depan akan lebih berorientasi pada produk dan layanan bisnis, bukan lagi berorientasi membangun sebuah sistem besar yang mengelola sebanyak mungkin fungsi bisnis internal perusahaan. Perusahaan cenderung akan mengimplementasikan sistem yang mendukung masing-masing produk dan layanan bisnis mereka. Sehingga akan timbul sejumlah aplikasi spesifik yang mengelola suatu produk/layanan mereka itu. Vendor penyedianya pun bisa banyak. Teknologi yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing produk/layanan bisnisnya. Secara internal sistem-sistem tersebut akan bermuara pada sistem keuangan dan akuntansi yang baku dan standard.
Kompetisi bisnis yang semakin ketat menuntut perusahaan harus lincah dan fleksibel menawarkan atau memodifikasi produk dan layanan bisnisnya. Hal demikian akan susah untuk diakomodasi oleh sistem besar yang mengelola segala hal seperti sistem ERP.
(Baca juga: Gojek jadi Satu-Satunya Perusahaan ASEAN dalam Fortune 50)
Tren ini juga telah terjadi pada dunia perbankan. Dulu, hampir seluruh kebutuhan bisnis perbankan dikelola sistem Core Banking. Sistem ini menjadi sulit untuk mengikuti karakteristik bisnis perbankan yang sangat dinamis, apalagi setelah maraknya bisnis Fintech. Sehingga yang banyak dilakukan adalah mengimplementasikan paket-paket aplikasi untuk produk dan layanan spesifik tertentu, yang semuanya kemudian bermuara pada core banking untuk pengelolaan akuntansinya. Sehingga sistem Core Banking sekarang menjadi jauh lebih ramping dibanding jaman dulu.
(Baca juga: Puluh Ribu Kantor Bank Eropa Tutup Karena Nasabah Pindah ke “Online”)
Lalu bagaimana integrasinya? Integrasi data dan informasi dilakukan melalui Data Warehouse yang menjadi basis dari Business Intelligence, Dashboard, dan sejenisnya. Kemudian integrasi pada tingkatan proses dan aplikasi dapat dilakukan menggunakan platform ESB (Enterprise Service Bus) berbasis SOA (Service Oriented Architecture).
Sehingga dengan demikian sistem ERP masa depan akan berisi pilar-pilar penting, yaitu: (1) Aplikasi-aplikasi spesifik produk dan layanan bisnis; (2) Sistem pengendalian internal yang baku (seperti Financial & Accounting); (3) Data/Information Integrator (Data Warehouse); (4) Service Integrator (Enterprise Service Bus).
Jadi pada satu sisi sistem aplikasi mesti lincah dan fleksibel merespon kebutuhan pasar, namun di sisi lain kontrol internal perusahaan tetap harus diperhatikan dengan baik. Dari sisi model operasional pengelolaan TI nya, pendekatan yang mungkin cocok untuk era seperti ini antara lain adalah Gartner’s Bimodal IT. Pendekatan Bimodal IT adalah model operasi TI yang memungkinkan penciptaan sistem-sistem dan proses-proses TI pada satu sisi stabil dan predictable, tapi juga bisa cepat dan lincah mengikuti perkembangan kebutuhan bisnis. Dua sisi yang seperti kontradiktif dan tidak mudah dalam pelaksanaannya. Tapi itulah tantangannya di masa depan.
Jadi benarkah sistem ERP akan mati? Kalau ERP tidak mendukung karakteristik bisnis jaman now, maka mari ucapkan selamat tinggal pada sistem ERP! Jaman sudah berubah, Bung! [mti]
Penulis: Umar Alhabsyi, ST, MT, CISA, CRISC.
Founder & CEO of iValueIT Consulting (PT IVIT Konsulindo)
1 comment on "Sistem ERP Sudah Mati?!"