
MANAJEMEN-TI.COM – Soal e-KTP kembali hangat diperbincangkan di media sosial. Kali ini dipicu lontaran dari salah satu cawapres yang disampaikan dalam pernyataan penutupnya dalam debat cawapres kemarin (17/03/2019). Beliau menyampaikan bahwa rakyat cukup punya 1 (satu) kartu saja yaitu e-KTP untuk mendapatkan seluruh program dan layanan di negeri ini. Kartu ktp elektronik tersebut sudah sangat canggih untuk dapat menjadi national single identity number.
“Ini super canggih. Sudah memiliki chip technology di dalamnya. Revolusi Industri 4.0 memudahkan dengan Big Data dan Single Identity Number, semua fasilitas layanan ketenaga kerjaan, pendidikan, kesehatan, semua rumah siap kerja bisa diberikan, PKH kita akan tambah menjadi PKH+ di dalam program yang hanya membutuhkan KTP ini. Ini menjadikan kartu kami.”
Dan seperti biasa maka para pendukung kedua kubu pun heboh membicarakannya. Dan saya cukup yakin sebagian besar diantaranya baik yang mendukung maupun menolak sama-sama tidak tahu persis duduk perkaranya. Oleh karena itu saya sama sekali tidak tertarik untuk berbicara dalam kerangka kubu-kubu seperti itu. Dalam tulisan ini saya mencoba menyampaikan secara obyektif terkait hal ini berdasarkan apa yang saya ketahui.
Baiklah, pertanyaan pertama adalah apakah yang dilontarkan oleh Cawapres 02 ini merupakan ide baru?
Jawabannya jelas: BUKAN ide baru.
Lantas kalau bukan ide baru, sebenarnya bagaimana riwayat ide identitas tunggal nasional (national single identity number) ini? Kenapa seperti banyak yang tidak tahu dengan adanya ide ini, sehingga mudah heboh seperti sekarang ini?
Lalu apakah national single identity number (NSIN) berarti identik dengan satu kartu untuk segala urusan?
Tulisan sederhana ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut berdasarkan apa yang saya ketahui dan saya terlibat pada beberapa segmen ceritanya.
e-Indonesia Plan
Ide NSIN ini setidaknya sudah mulai diinisiasi tidak kurang dari 15 tahun yang lalu. Sependek yang saya tahu ide ini diinisiasi secara formal pada pemerintahan SBY-JK, yaitu pada periode tahun 2004-2009[1]. Pemerintah saat itu antara lain meluncurkan rencana e-Indonesia yang mencanangkan 7 (tujuh) program andalan (flagship) yang akan digelar sebagai pilar utama e-Indonesia. National Single Identity Number ini adalah salah satu diantara 7 program andalan (flagship) dalam rencana e-Indonesia ini. Untuk mengawal jalannya rencana e-Indonesia tersebut, pada 2006 dibentuklah sebuah lembaga bernama Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (DeTIKNas) yang diketuai langsung oleh Presiden sendiri. Lembaga ini dilahirkan dengan landasan hukum berbentuk Keputusan Presiden (KEPRES). Didalamnya antara lain ditetapkan ada tim pengarah dan tim pelaksana. Dalam tim pengarah duduk 10 menteri negara. Sedangkan tim pelaksana dikoordinasikan oleh Depkominfo yang diketuai oleh Menkominfo sendiri. Alhasil, DeTIKNas seharusnya merupakan lembaga yang sangat kuat untuk mengawal implementasi rencana e-Indonesia tersebut.

Pada setiap flagship telah ditetapkan pula lembaga/kementrian yang akan memimpin atau mengkoordinasikannya. Untuk program National Single Identity Number ini ditetapkan Departemen Dalam Negeri (Depdagri) sebagai penanggung-jawabnya[2]. Pada tahun 2006 terbit pula UU Nomor 23/2006 tentang Sistem Administrasi Kependudukan. Dimana didalamnya disebutkan adanya KTP yang berlaku secara nasional dengan didukung oleh Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Undang-undang ini kemudian didetailkan lagi melalui PP Nomor 37/2007 yang juga menyebut adanya KTP dan SIAK yang dijalankan secara nasional. Didalamnya juga diatur standard penomoran kependudukan (NIK) secara nasional.
Namun kondisi di lapangan saat itu menyulitkan pemerintah untuk menjalankan UU dan PP yang telah ditetapkan tersebut. Antara lain karena pada saat itu terdapat beragam versi sistem yang digunakan oleh pemerintah-pemerintah daerah untuk mengelola administrasi kependudukannya. Ada beberapa daerah yang menggunakan SIAK versi online nasional. Ada yang menggunakan SIAK online yang di-offline-kan (karena sering terjadi masalah dengan kontektifitas). Ada juga yang menggunakan SIAK versi lain lagi dan bahkan masih banyak pula yang menggunakan SIMDUK (Sistem Informasi Manajemen Kependudukan) yang dicanangkan di akhir masa Order Baru. Lalu sistem mana yang akan diberlakukan sebagai standard untuk SIAK nasional sebagaimana diamanatkan oleh UU dan PP diatas?
Depdagri kemudian mengambil langkah untuk mengundang ahli perwakilan dari 3 Perguruan Tinggi yaitu ITB, UI dan ITS untuk melakukan asesmen terhadap 3 (tiga) versi aplikasi SIAK yang secara statistik paling banyak digunakan di Kabupaten/Kota di Indonesia. Waktu itu kebetulan saya mewakili ITB untuk melakukan asesmen terhadap ketiga aplikasi tersebut. Hasilnya ketiga aplikasi tersebut menurut kami belum memenuhi syarat sebagaimana yang dituntut oleh regulasi. Sehingga kami waktu itu menyampaikan beberapa rekomendasi yang perlu dilakukan oleh Depdagri agar kebutuhan yang diharapkan untuk mendapatkan sebuah SIAK yang standard secara nasional. Saya tidak mengikuti lagi kelanjutan dari rekomendasi tersebut. Hanya yang saya tahu setelah itu dijalankan proyek pengembangan SIAK nasional yang konon sempat berlarut-larut sampai akhirnya selesai diimplementasikan sekitar tahun 2008/2009. Ini jauh meleset dari target semula, karena data SIAK ini yang mestinya diandalkan sebagai dasar untuk DPT Pemilu 2009. Oleh karena itu agaknya wajar kalau data DPT Pemilu 2009 banyak dikeluhkan sejumlah kalangan karena cukup kacau.
Grand Design Sistem Administrasi Kependudukan
Pemilu usai. Pemerintahan berganti kepemimpinan dari SBY-JK ke SBY-Boediono. Pada tahun 2010, Kementerian Dalam Negeri merilis dokumen Grand Design Sistem Administrasi Kependudukan yang konon merupakan resume hasil serangkaian FGD (Focus Group Discussion) yang menghadirkan sejumlah pakar. Grand Design SAK tersebut juga memuat SIAK dan e-KTP sebagai salah dua komponen pembentuk SAK Indonesia. Saya sempat melakukan review terhadap Grand Design SAK tersebut untuk memberikan masukan perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan terhadap dokumen tersebut. Cukup banyak hal mendasar yang menurut saya perlu diperbaiki dari Grand Design SAK tersebut.
Seiring dengan itu juga rupanya sudah dirintis pula persiapan proyek e-KTP dengan anggaran yang sangat fantastis itu. Pada Februari 2011, saya sempat melakukan kajian kelayakan dan risiko dari rencana proyek e-KTP tersebut (saat itu proses pengadaan belum diluncurkan ke publik). Menurut analisis saya waktu itu, proyek ini belum siap dilakukan pada saat itu. Terutama karena perencanaan proyek dan pengelolaan risiko yang jauh dari memadai. Tapi proyek tersebut tetap saja berjalan. Dan seperti saya duga di awal, banyak masalah yang kemudian muncul pada saat dan setelah proyek e-KTP tersebut berjalan. Dari molornya penyelesaian proyek, masalah perekaman data, kehabisan blanko, sampai dengan soal-soal “sepele” seperti boleh tidaknya e-KTP di fotocopy 😊.
[Baca juga: Ribut-ribut (lagi) soal e-KTP, Not Plan to Fail kan?]
Periode Pasca 2014
Setelah pemerintahan berganti pasca Pemilu 2014, Kementerian Kominfo dan Kementrian Dalam Negeri menilai ada permasalahan mendasar pada sistem e-KTP ini. Kementerian Kominfo waktu itu mengungkapkan (kembali) rencana pemerintah untuk menjadikan e-KTP ini menjadi kartu identitas tunggal nasional (national single identity number) yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Namun demikian sistem ini menurutnya perlu dievaluasi terlebih dahulu sebelum dilanjutkan untuk menjadi platform NSIN tersebut.
[Baca: Menkominfo: e-KTP Akan Digunakan sebagai Single Identity Number (November 2014)]
Kemudian Mendagri menginstruksikan penghentian sementara pengurusan e-KTP di November 2014 untuk memeriksa dan mengevaluasi sistem e-KTP berikut keberadaan data-data penduduk yang direkam melalui sistem tersebut.
[Baca: Harus Dievaluasi Mendagri Hentikan Sementara Pengurusan e-KTP (November 2014)]
Selanjutnya saya tidak tahu apa yang dilakukan atau perbaikan apa yang dilakukan selama evaluasi tersebut, alhasil awal 2015 pelayanan e-KTP dibuka kembali. Perekaman data e-KTP dilakukan kembali di daerah-daerah. Walaupun bukan berarti warga yang sudah direkam datanya, akan langsung mendapatkan kartu e-KTP nya karena blanko nya yang seringkali terjadi kelangkaan. Karena alasan kehabisan blanko ini, seseorang bisa baru mendapatkan e-KTP lebih dari setahun setelah perekaman datanya. Persis seperti salah satu risiko yang saya perkirakan pada kajian saya di 2011 dulu.
Hingga September 2018 lalu, masih ada sekitar 10,5 Juta penduduk yang belum melakukan perekaman e-KTP, yang terdiri dari 6 juta penduduk dewasa dan sisanya adalah penduduk yang akan berusia 17 tahun pada April 2019. Untuk mendorong percepatan perekaman data e-KTP ini, kemendagri memberikan ultimatum bahwa apabila sampai 31 Desember 2018 masih ada penduduk dewasa yang belum juga melakukan perekaman e-KTP maka data kependudukannya akan diblokir. Walaupun mengingat masih belum maksimal pelayanan perekaman e-KTP dibuka kembali bahkan di hari libur, dengan harapan dapat memaksimalkan waktu yang tersisa sebelum Pemilu 2019.
National Single Identity Number telah Terwujud
Penuntasan data kependudukan sangat penting karena data kependudukan ini merupakan basis data yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk keperluan single identity number. Kemendagri berharap tahun 2019 ini data kependudukan bisa dituntaskan. Sehingga data-data kependudukan yang telah dikelola Kemendagri ini sudah mulai berlaku sebagai National Single Identity Number. Berbagai instansi baik pemerintahan maupun swasta dapat menggunakannya untuk verifikasi dan validasi data kependudukan yang terintegrasi dengan pihak-pihak terkait lainnya. Kemudian bersamaan dengan itu Kemendagri harus dapat memastikan keamanan[3] data-data kependudukan yang dikelolanya. Hal ini juga perlu didukung oleh regulasi dan pengawalan kepemimpinan yang kuat.
[Baca juga: Quo Vadis Perlindungan Data Pribadi di Indonesia]
Maka cita-cita agar Indonesia memiliki sebuah identitas yang valid berlaku secara nasional untuk berbagai keperluan sebenarnya telah terwujud. Program yang dicanangkan tidak kurang dari 15 tahun lalu yang saya singgung di awal tulisan ini sebenarnya sudah terwujud, walaupun masih perlu ditingkatkan terus kualitas tata kelola dan pemanfaatannya. Sosialisasinya juga masih sangat kurang, sehingga banyak pihak yang belum tahu padahal sebenarnya sangat membutuhkannya. Hal ini juga menjadi salah satu faktor mudah hebohnya masyarakat seperti saat ini.
[Baca: Perkuat Keamanan TIK Data Kependudukan, Kemendagri Bekerja sama dengan BSSN (19 November 2018)]
[Baca: One Data Policy Terwujud, 1000 Lembaga Memanfaatkan Data Kependudukan (16 Agustus 2018)]
[Baca: Mendagri: 1166 Lembaga Telah Manfaatkan Data Kependudukan Untuk Layanan Publik (16 Januari 2019]
[Baca: Perekaman Data e-KTP Capai Lebih 97,41 persen, Dukcapil Siap Wujudkan Single Identity Number (9 Februari 2019)]
Single Identity Number = Satu Kartu?
Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah apakah kalau sudah menerapkan single identity number lalu berarti hanya butuh 1 kartu untuk segala keperluan?
Menurut saya ini merupakan dua hal yang berbeda. Penerapan NSIN tidak serta merta dapat diartikan berarti hanya ada 1 kartu untuk semua keperluan. Terlalu kompleks baik secara teknis maupun non-teknis untuk menjadikan sebuah kartu bisa untuk semua keperluan. Kita bisa saja memerlukan kartu-kartu lain yang tidak semua kebutuhannya dapat diakomodasi dalam sebuah kartu bernama e-KTP yang dimiliki oleh lebih 200 juta penduduk dari Sabang sampai Merauke. Tapi dengan adanya sebuah single identity number yang valid dan berlaku secara nasional, maka berbagai kartu (ataupun identitas non kartu lainnya) dapat direlasikan dengan identitas tunggal yang valid tersebut.
Mudah-mudahan penjelasan sederhana ini bisa sedikit memberikan gambaran obyektif mengenai National Single Identity Number dan hubungannya dengan SAK, SIAK, e-KTP dan kartu-kartu lainnya. Jangan karena pilihan politik membuat kita terhalang untuk berfikir obyektif. Semoga Indonesia semakin maju dan bahagia ke depan. Merdeka!! [mti/foto:tribunnews]
Penulis: Umar Alhabsyi, ST, MT, CISA, CRISC.
Founder & CEO iValueIT Consulting (PT IVIT Konsulindo)
[1] Bahkan pada periode pemerintahan sebelumnya juga sudah mulai ada inisiatif tersebut.
[2] Namun anehnya, pada tahun berikutnya ada inisiatif-inisiatif sejenis dilakukan oleh departemen dan lembaga lain yang mungkin merasa lebih wajar mengkoordinasikan inisiatif National Single Identity Number. Beberapa diantaranya misalnya kementerian keuangan (melalui Dirjen Pajak), kementerian pendidikan dan kebudayaan, kepolisian yang ikut pula menjalankan proyek yang serupa.
[3] Keamanan disini mencakup kerahasiaan data, kebenaran/integritas datanya, serta ketersediaan sistem dan datanya ketika dibutuhkan.
1 comment on "Soal e-KTP Lagi. Apakah Single Identity Number = Satu Kartu untuk Semua?"