Bersahabat dengan Awan

Manajemen-ti.com — Sebagai sebuah framework teknologi, komputasi awan (cloud computing) memang menjanjikan banyak hal. Dengannya organisasi yang membutuhkan layanan IT, tidak perlu lagi berinvestasi pada infrastruktur, aplikasi, hingga pengelolaannya. Mereka cukup berlangganan pada perusahaan penyedia cloud ini. Semuanya sudah dibungkus sebagai sebuah layanan. Sehingga muncullah berbagai produk seperti Infrastructure as a Service (IaaS), Platform as a Service (PaaS), Software as a Service (SaaS), dan masih terus berkembang dengan buntut yang sama, “as a Service”. Alhasil, janji-janji yang ditawarkan oleh komputasi awan ini membuat banyak pihak membuat prediksi bahwa teknologi ini merupakan sebuah tren teknologi yang akan semakin cerah di masa depan.

Namun demikian dalam kenyataannya, ternyata banyak tantangan yang membuat teknologi ini berjalan tertatih-tatih di sejumlah negara di dunia. Sehingga hal tersebut juga mempengaruhi perkembangan perusahaan-perusahaan penyedia layanan cloud ini dalam menjalankan bisnisnya dan memperluas pasarnya.

Business Software Alliance (BSA), sebuah aliansi produsen dan pebisnis software, mengembangkan sebuah alat ukur yang mereka sebut Global Cloud-Computing Scorecard. Mereka melakukan evaluasi terhadap 24 negara berkaitan dengan seberapa baik/buruk negara tersebut dalam mendukung pengadopsian komputasi awan disana. Sehingga pada gilirannya hal tersebut mempengaruhi keputusan perusahaan penyedia cloud untuk tertarik atau tidak tertarik untuk memperluas pasarnya di negara tersebut.

(Baca juga: Kejutan dalam Gartner Magic Quadrant 2013 untuk Cloud IaaS)

Scorecard tersebut mengkaji hukum dan peraturan utama yang relevan terhadap komputasi awan dalam 7 kategori kebijakan, termasuk privasi data, security, penanganan kejahatan cyber, perlindungan hak kekayaan intelektual, keharmonisan dengan standard internasional, dukungan terhadap perdagangan bebas, dan infrastruktur yang digelar di negara tersebut. Berdasarkan kategori-kategori inilah, survey itu kemudian menentukan tingkat dukungan sebuah negara pada cloud (cloud friendliness) relatif diantara negara yang dikaji. Ya, seberapa bersahabat sebuah negara terhadap pengadopsian komputasi awan.

Secara umum tren menunjukkan perkembangan yang sangat menjanjikan terhadap pengadopsian cloud. Keduapuluh-empat negara yang diteliti oleh BSA untuk cloud scorecard nya itu dapat dikatakan mewakili 80 persen pasar TIK secara global.

Hasil dari survey tersebut, dalam 2 tahun berturut-turut BSA menempatkan Jepang sebagai negara dengan lingkungan yang paling bersahabat dengan penyedia layanan cloud, memiliki infrastruktur broadband yang sangat baik, hukum yang kuat terhadap kejahatan cyber dan framework yang baik dalam mendukung security dan perlindungan privasi pengguna.

Australia mengikuti di tempat kedua, juga tidak berubah dari tahun sebelumnya. Sementara Amerika Serikat (AS) naik satu peringkat ke posisi ketiga, menggeser Jerman yang tahun lalu di posisi ketiga menjadi ke posisi keempat tahun ini. Kemungkinan penurunan peringkat Jerman ini disebabkan oleh kekhawatiran yang berkembang di sejumlah negara uni Eropa terkait privasi data sehingga kebijakan yang dibuat menjadi lebih protektif. Hal tersebut diperkirakan akan menambah rambu administratif bagi perusahaan penyedia layanan cloud. Sementara itu Singapura berada di posisi kelima, dan merupakan negara dengan progress yang paling fantastis diantara negara-negara yang disurvey. Negara Lee Kuan Yew itu naik 5 peringkat sekaligus dari posisi tahun sebelumnya. Menurut BSA, kebijakan privasi data yang baru diterapkan di Singapura disebut cukup seimbang antara melindungi konsumen dengan fleksibilitas industri.

Lalu negara manakah yang menurut BSA merupakan negara yang meiliki lingkungan terburuk untuk pengadopsian cloud computing?

Afrika selatan berada di posisi 5 dari bawah. Negara yang punya sejarah Apartheid ini merupakan negara paling buruk dalam hal perlindungan privasi data diantara negara yang dievaluasi oleh BSA tahun ini. Negara kita, Indonesia, tahun ini berada di posisi 4 dari bawah. Menurut BSA, walaupun ada kemajuan dalam hukum perlindungan privasi data, kebijakan Indonesia terhadap perusahaan asing yang harus membangun data center lokal dianggap menyulitkan pengembangan cloud di negeri jamrud khatulistiwa ini.

Kemudian di posisi 3 dari bawah terdapat Brazil yang naik peringkat dari tahun lalu yang menempatkannya di posisi paling buncit. Peningkatan tersebut disebabkan utamanya karena adanya peraturan baru terkait kejahatan cyber. Namun negaranya Pele tersebut merupakan yang terlemah dalam aspek dukungan terhadap standard industri dan harmonisasi peraturan internasional.

Sementara posisi runner-up dari bawah ditempati oleh Thailand. Negeri Gajah Putih ini merupakan negara yang dinilai terburuk dalam proteksi keamanan data diantara negara-negara yang disurvey. Dan posisi paling bontot tahun ini ditempati oleh negara ASEAN lainnya, yaitu Vietnam. Negerinya para Vietkong itu memiliki skor terendah diantara negara yang disurvey dalam hal kebijakan perdagangan bebasnya.

Diantara permasalahan kebijakan yang mempengaruhi penyebaran layanan cloud, aspek keamanan dan privasi merupakan yang mendapatkan perhatian paling besar. Hal ini tentunya wajar karena bagaimana akan memindahkan datanya ke cloud kalau mereka belum percaya bahwa datanya terlindungi dengan baik dari serangan cyber dan tidak dieksploitasi untuk tujuan-tujuan yang tidak mereka kehendaki. Apalah artinya cloud kalau orang tidak mau memindahkan datanya ke cloud.

Indonesia turun satu peringkat dari posisi tahun lalu, walau ada kemajuan dalam hal regulasi terhadap privasi data. Hal ini utamanya disebabkan karena adanya peraturan baru yang menuntut para penyedia cloud untuk mendaftar ke sebuah otoritas pemerintah pusat dan mewajibkan dibangunnya data center di Indonesia yang memperkerjakan pekerja lokal. Peraturan yang dimaksud BSA itu antara lain adalah Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2012, tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik berikut peraturan dan kebijakan turunannya.

Kebijakan yang diambil oleh Indonesia ini dianggap oleh BSA merupakan kebijakan yang sangat negatif bagi pengembangan cloud. Padahal sebenarnya ditujukan untuk memastikan keamanan data serta mendukung agar perusahaan-perusahaan Indonesia agar bisa menjadi tuan rumah di pasar negeri sendiri. Agar tidak hanya menjadi konsumen raksasa-raksasa dunia. Lantas apanya yang salah? [manajemen-ti]

Oleh: Umar Alhabsyi, ST, MT, CISA, CRISC.

twitter: @umaralhabsyi