risiko implementasi ERP

Manajemen-ti.com — Banyak studi membuktikan bawah bagian terpenting dari proyek ERP bukan terletak pada pemilihan hardware apa yang akan digunakan atau produk software ERP mana yang akan digunakan. Bagian paling vital dari proyek ERP tak lain adalah bagian implementasi ERP itu sendiri.

Sebenarnya tak sulit bagi kita untuk membenarkan hasil studi-studi tersebut bahwa tahapan implementasi adalah tahapan yang paling vital. Baik ditinjau dari sisi biaya, keterlibatan sumber daya, waktu, variasi isu dan sisi-sisi lainnya hampir selalu akan kita dapatkan bahwa tahapan implementasi adalah tahapan yang paling vital dan menentukan, for better or worse.

Pada tulisan yang lalu saya sudah jelaskan dua diantara faktor risiko dominan yang amat perlu diperhatikan dalam implementasi ERP ini. Pada tulisan ini saya akan lanjutkan ke faktor risiko dominan lainnya yang sangat menentukan kesuksesan/kegagalan implementasi ERP.

Manajemen Perubahan

Ketiga, adalah soal manajemen perubahan. Risiko ini sering tidak mendapat perhatian yang memadai, padahal seringkali mematikan. Bagaimana tidak, sebuah sistem ERP (sebagaimana layaknya sistem aplikasi bisnis) berjalan bersama proses bisnis. Sehingga ketika terjadi perbedaan antara proses bisnis yang berjalan dalam organisasi dengan proses bisnis yang digunakan oleh ERP, maka pilihannya adalah apakah proses bisnis perusahaan yang direkayasa ulang sehingga menjadi sesuai dengan proses bisnis ERP, atau sistem ERP nya yang dikustomisasi untuk menyesuaiakan dengan proses bisnis yang berlaku saat itu di perusahaan. Pada skala implementasi yang cukup besar maka titik-titik pilihan ini pun akan menjadi semakin banyak. Pada setiap titik tersebut perlu ditangani dengan baik sesuai dengan tahapan-tahapan standard manajemen perubahan. Bagaimana mengidentifikasinya, bagaimana menganalisis dampaknya, bagaimana mendesain langkah-langkahnya, bagaimana memonitor langkah-langkah tersebut, bagaimana menjaga risikonya terkendali baik bahkan sampai dengan setelah perubahan diimplementasikan. Kurangnya perhatian pada manajemen perubahan ini antara lain akan berdampak pada:

  • Sistem tidak digunakan secara optimal oleh para penggunanya. Penyebabnya bisa karena penggunanya kurang memahami perubahan yang diterapkan setelah ERP diimplementasikan, atau bisa juga karena adanya resistensi pengguna untuk menggunakan sistem ERP yang baru diimplementasikan tersebut.  Resistensi timbul misalnya karena pendekatan yang kurang baik terhadap para pengguna, kurangnya keterlibatan mereka dalam proses implementasi sehingga tidak memiliki sense of belonging yang memadai, beban pekerjaan yang bertambah tanpa ada bentuk insentif kinerja tertentu, dll.
  • Turunnya kualitas sistem. Terutama apabila pengendalian perubahan pada sistem ERP (kustomisasi) tidak dilakukan dengan cukup ketat. Semakin besar tingkat kustomisasi sistem akan berisiko pada menurunnya stabilitas sistem, karena artinya sistem yang awalnya sudah berada pada status “matang” akan menurun tingkat kematangannya. Kalau implementernya memiliki pemahaman tentang produk ERP yang cukup luas maka perubahan di satu titik dapat menyebabkan fungsi-fungsi lainnya menjadi terganggu. Pengelolaan kustomisasi yang kurang baik juga dapat berakibat kesulitan dalam upgrade produk ERP di kemudian hari.
  • Akibat kedua hal diatas ujungnya adalah manfaat dari sistem ERP tidak terealisasi bagi bisnis perusahaan.

Scope & Requirement Management

Keempat, soal kejelasan dan kesamaan persepsi mengenai lingkup dan detail kebutuhan. Faktor risiko ini umumnya berawal jauh di awal proses perencanaan dan pengadaan. Akibat kurang jelasnya atau belum samanya persepsi antara perusahaan dengan implementer, maka keduanya pun memiiki ekspektasi dan estimasi sendiri-sendiri yang tidak bertemu. Akibatnya seperti bom waktu yang setiap saat bisa meledak. Semakin besar kesenjangan (ekspektasi dan estimasi) yang terjadi maka bisa semakin besar “ledakan”-nya. Dampaknya bisa menyentuh aspek teknis fungsional (ada kemampuan sistem yang dihilangkan), komersial (ada penambahan/pengurangan biaya), sampai dengan legal formal (ada tuntutan hukum). Sebab dari permasalahan ini antara lain adalah:

  • Latar belakang, justifikasi dan tujuan implementasi ERP yang kurang jelas, sehingga berpengaruh kepada lingkup dan spesifikasi kebutuhan yang kurang jelas juga. Misalnya motivasi implementasi yang sekedar untuk cari proyek, motif ikut-ikutan, mumpung belum pensiun, dan motif serta tujuan yang tidak relevan lainnya. Hal ini juga dapat menyebabkan proyek tidak kunjung selesai karena tidak jelas tujuan dan batas-batasnya.
  • Strategi pemilihan akan berpengaruh pada tingkat kedetailan spesifikasi yang dapat ditetapkan pada saat pemilihan. Tingkat kedetailan spesifikasi ERP akan berbeda kedalamannya antara strategi pemilihan “multi-product, multi-implementer” dengan strategi pemilihan yang melakukan seleksi terhadap produknya dulu baru kemudian memilih implementernya.
  • Rentang waktu yang dialokasikan dalam proses pemilihan produk dan implementer yang terlalu pendek menyebabkan kurang optimalnya proses klarifikasi kebutuhan dan penawaran (misalnya melalui proses beauty contest dan proof of concept).

Data Migration & Conversion

Kelima, soal migrasi dan konversi data. Seringkali fokus semua pihak baik implementer maupun tim proyek perusahaan adalah pada pengembangan dan konfigurasi sistem aplikasi ERP sesuai dengan kebutuhan. Sementara permasalahan data yang akan dipindahkan pengelolaannya ke sistem baru kurang mendapat perhatian, atau baru mendapat perhatian di tahapan akhir implementasi ketika sistem sudah mendekati tahapan deployment. Dampak dari fakta ini akan sangat dirasakan terutama jika sebelumnya perusahaan telah menggunakan suatu sistem legacy tertentu. Permasalahan yang sering muncul adalah masalah struktur data yang berbeda, kompatibilitas data, penyiapan tools konversi dan upload datanya. Disamping itu proses pengumpulan data (data collection) dan pembersihan data (data cleansing) umumnya banyak bermasalah karena tanggung-jawab pelaksanaan task ini terletak pada user yang seringkali kurang memiliki kapasitas (kuantitas dan kualitas) yang memadai untuk melakukannya. Akibatnya sistem sudah siap, tapi datanya belum siap atau kacau. Sehingga data yang dikeluarkan dari sistem menjadi kacau pula, sehingga kepercayaan user terhadap sistem menjadi menurun, yang jika tidak segera ditangani akan menyebabkan kegagalan dalam implementasi ini (sistem tidak digunakan).

Sebenarnya masih terdapat beberapa risiko penting yang perlu diperhatikan dalam implementasi ERP. Perlu diingat juga bahwa faktor risiko itu ada yang bersumber dari internal organisasi, dan ada juga yang bersumber dari eksternal organisasi. Dari internal organisasi pun ada yang sifatnya strategis (berkaitan dengan strategi implementasi) dan ada yang sifatnya lebih operasional (berkaitan dengan pengendalian eksekusi strategi). Sedangkan faktor risiko eksternal bisa bersumber dari kondisi perusahaan implementer, perubahan dari regulator, dan kondisi eksternal lain yang sebagian besar diantaranya relatif diluar jangkauan manajemen internal organisasi untuk mengendalikannya. Kondisi perusahaan implementer yang nge-drop secara finansial atau sedang mengalami restrukturisasi dapat mempengaruhi kinerja implementer, bahkan ada yang sampai kemudian memicu dikibarkannya “bendera putih” tanda menyerah untuk melanjutkan proses implementasi. Duh!

Tapi, betapapun, seandainya kelima faktor risiko yang saya sebutkan dalam artikel ini dan artikel sebelumnya dapat dikelola dengan baik maka potensi kegagalan implementasi akan dapat ditekan secara sangat signifikan. Bagaimana mengelolanya? Kontrol apa yang dapat diterapkan untuk meminimalisasi paparan risiko-risiko tersebut? Insya Allah akan saya lanjutkan pada tulisan berikutnya. Semoga bermanfaat. [manajemen-ti]

Tentang Penulis:

Umar Alhabsyi, MT, CISA, CRISC.

Merupakan konsultan senior IT Management, pendiri sekaligus direktur iValueIT Consulting (PT IVIT Konsulindo).
twitter@umaralhabsyi.