
MANAJEMEN-TI.COM – Sejak beberapa tahun terakhir, istilah data science dan profesi Data Scientist telah memicu perhatian berbagai pihak. Para perusahaan besar berlomba-lomba merekrut orang yang mereka percaya sebagai Data Scientist andal, dengan harapan mampu memberi kontribusi besar bagi bisnis. Hal ini seperti diperkuat dengan pernyataan Harvard Business Review yang menyebut Data Scientist sebagai profesi terseksi abad 21.
Data science merupakan sebuah kegiatan riset berbasis data, menggunakan metode atau algoritma matematika, yang bertujuan untuk mengambil suatu informasi dari banyak data (big data) milik sebuah perusahaan.
Menurut Head of Business Data Platform Grab, Ainun Najib, permintaan akan Data Scientist di Indonesia sudah sangat tinggi. Sayangnya, hal tersebut tidak diimbangi dengan kenaikan jumlah orang yang berkompeten menjalankan profesi tersebut di tanah air.
“Kami sendiri di Grab memutuskan untuk merekrut talenta-talenta terbaik di tanah air, dan menggabungkan mereka dengan para ahli yang berasal dari luar negeri, demi membentuk tim data yang kuat.”
(Baca juga: Berhenti Gunakan Uber!!)
Celah tersebut akhirnya dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk menghadirkan kursus data science secara online. Sedangkan di Indonesia, saat ini telah muncul perusahaan yang bisa menghadirkan kursus data science secara offline seperti Algoritma, hingga komunitas bernama Data Science Indonesia.
(Baca juga: Inilah 5 Keahlian IT yang Paling Dibutuhkan Hingga 5 Tahun Kedepan)
Namun menurut Ainun, bidang data science sebenarnya menyimpan beberapa mitos yang sering membuat para perusahaan dan orang-orang yang ingin mengejar karier di bidang tersebut salah paham. Apa saja mitos-mitos itu?
Kesatu, Ahli Data Science (Data Scientist) harus dimiliki oleh setiap perusahaan
Menurut Ainun, banyak perusahaan yang seperti terbawa hype. Tanpa pemikiran yang mendalam langsung memutuskan untuk merekrut Data Scientist. Padahal, Data Scientist tidak cukup berguna apabila perusahaan belum mempunyai tujuan yang jelas ingin menggunakan data untuk apa.
Sebuah perusahaan harus mengetahui data apa yang akan mereka olah, dan sebanyak apa data yang dimiliki. Apabila data tersebut tidak begitu banyak, mungkin perusahaan tersebut hanya perlu melihat tren di Google Analytics saja, tanpa perlu kehadiran seorang Data Scientist.
Istilah Data Scientist sendiri menurut Ainun pada awalnya sengaja dibuat agar terlihat keren. Pada tahun 2008, seorang ahli matematika bernama DJ Patil yang pada waktu itu menempati posisi sebagai Head of Data Products di LinkedIn hendak merekrut seseorang untuk membantu pekerjaannya. Ia butuh seseorang yang bisa mengolah data dan menghasilkan masukan positif untuk perusahaan.
“DJ Patil melakukan eksperimen dengan membuat beberapa lowongan pekerjaan dengan deskripsi sama, tapi dengan nama berbeda. Ia pun mengetahui bahwa lowongan pekerjaan dengan judul Data Scientist paling banyak dibuka oleh pengguna.”
Sejak itulah istilah Data Scientist ramai digunakan. Ainun sendiri menyatakan bahwa Grab saat ini merancang tim data science dengan lima target utama, yaitu:
- Optimisasi
- Simulasi
- Machine learning
- Ekonomi
- Infrastruktur
Kedua, Ahli Data Science mengerjakan algoritma yang keren tiap hari
Mitos ini juga merupakan sesuatu yang kurang tepat. Menurut Ainun, sekitar 70 hingga 90 persen pekerjaan seorang Data Scientist biasanya hanya digunakan untuk mengeksplorasi dan membersihkan data.
“Apabila menggunakan algoritma, biasanya kami hanya menggunakan regresi linear. Dan apabila kami melakukan algoritme tingkat lanjut seperti neural network, biasanya kami hanya menulis beberapa baris kode pemrograman.”
Yang terpenting bagi seorang Data Scientist justru bagaimana bisa mengerti data yang dihadapi, memahami masalah yang ada di dalam data, dan bisa menghasilkan solusi penyelesaian dari masalah itu.
Ketiga, Jika punya Ahli Data Science, maka perusahaan tersebut telah berbasis data
Menurut Ainun, pola pikir seperti ini harus dibalik. Sebuah perusahaan justru harus mengembangkan budaya yang berbasis data terlebih dahulu, contohnya dengan mengumpulkan data secara rapi. Dengan begitu, mereka akan mempunyai fondasi data yang kuat, dan siap untuk merekrut seorang Data Scientist.
Keempat, Seorang Data Scientist harus bergelar Doktor
Biasanya, seorang Data Scientist adalah seorang lulusan program doktoral yang memiliki kemampuan analisis mumpuni. Namun sayangnya, tidak semua pemilik gelar Doktor cocok dengan karier di dunia data. Hal ini karena dunia data sangat cepat berubah. Apabila tidak bisa mengikuti, maka akan tertinggal.
“Pada tahun 2014, platform pengolahan data Apache Spark diperkenalkan untuk pertama kalinya, namun dua tahun berselang semua orang sudah menggunakan platform tersebut,” terang Andreas Hadimulyono, Warehouse Engineer dari Grab. “Hal serupa terjadi dalam hal penyimpanan data, yang semula menggunakan HDD, yang tiba-tiba berganti menjadi SSD, dan sekarang sudah mulai beralih ke NVMe.”
(Baca juga: Profesi Akuntan Sudah Mati? Benarkah?!)
Kelima, Semua orang bisa meniti karier di bidang data
Menurut Ainun, untuk meniti karier di bidang data, seseorang harus mempunyai kombinasi dari empat hal, yaitu:
- Kemampuan bisnis dan pemasaran
- Kemampuan analisis atau statistik
- Kemampuan teknis (pemrograman)
- Kemampuan komunikasi
“Pada intinya, untuk bisa sukses dalam karier, kamu harus mencari dua hal. Cari keahlian apa yang paling kamu kuasai, tak peduli di bidang data atau bukan. Setelah itu cari perusahaan yang paling bisa menghargai kemampuan kamu tersebut,” pungkas Ainun.[mti/af/techinasia]
Sumber: techinasia