
MANAJEMEN-TI.COM — Sebagai makhluk yang berakal, manusia memiliki kemampuan untuk merespon berbagai data dan stimulan yang diterimanya menjadi informasi. Kemampuan inilah yang ketika prosesnya dilanjutkan telah terbukti dapat menciptakan berbagai pengetahuan dan kebijakan berupa berbagai metode sains, filosofi, model-model yang kompleks, dan sebagainya.
Tapi adanya kemampuan ini bukan meniscayakan bahwa manusia dapat melakukannya dengan cukup baik. Seringkali manusia cenderung untuk berpikiran sempit sehingga menganggap pengetahuan yang telah dia dapatkan itu sebagai sesuatu yang sudah pasti, mutlak kebenarannya, dan terus berlaku selamanya.
Orang-orang seperti ini akan sering terkejut mengamati realitas yang ternyata berbeda dengan pandangan yang selama ini dia yakini. Manusia sering dibuat terkejut bukan karena peristiwa-peristiwa yang terjadi itu bersifat acak, tapi karena sempitnya pandangan mereka terhadap dunianya. Kejutan-kejutan seperti inilah yang disebut dengan fenomena “angsa hitam” (black swans). Dan fenomena kejadian seperti ini dapat mendorong manusia untuk mempertimbangkan kembali pandangan dunianya.
Inilah tema utama yang dijelaskan dengan sangat apik oleh Nassim Nicolas Taleb dalam buku best seller-nya, “The Black Swan”.

[Baca juga: Anatomi Inovasi: Kolaborasi Para Saintis yang Puitis]
Sebelum seseorang menemukan adanya angsa hitam, manusia mengasumsikan semua angsa berwarna putih. Oleh karenanya, seluruh gambaran dan imajinasi tentang angsa maka pasti putih warnanya. Artinya putih adalah bagian esensial dari “keangsaan”. Sehingga, ketika mereka menemukan angsa hitam yang pertama, maka fakta ini menggedor secara fundamental pemahaman mereka tentang angsa dan keangsaan itu.
Dampak
Dampak dari “angsa hitam” ini tidak sama antara satu orang dengan orang lainnya. Sebagian orang akan sangat terdampak dengannya, sementara sebagian lainnya mungkin tenang-tenang saja. Intensitas dampaknya bergantung pada seberapa jauh aksesnya terhadap informasi yang relevan. Semakin kaya seseorang dengan informasi yang relevan, maka semakin kecil kemungkinannya dia akan terkena efek “angsa hitam”. Dan semakin kurang informasi, maka semakin besar risiko efek kejut yang akan diterimanya dari si angsa hitam ini.
Dampak dari “angsa hitam” ini juga bisa berbeda-beda skalanya. Kadang ia hanya berdampak pada individu-individu atau kalangan tertentu saja. Tapi ia bisa juga berdampak pada masyarakat yang lebih luas. Ketika hal ini terjadi pada lingkup dunia yang lebih luas, maka sang angsa hitam ini akan dapat menyebabkan transformasi yang lebih luas. Ia dapat mentransformasikan bagaimana dunia ini bekerja ke depan. Ia bisa merubah berbagai aspek kehidupan masyarakat. Ia dapat menciptakan kebiasaan, pandangan, filosofi, bisnis, dan sebagainya yang baru. Menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang baru.
Kesalahan yang Melahirkan Angsa Hitam
Terdapat beberapa kesalahan manusia dalam memproduksi pengetahuan yang melahirkan angsa hitam atau memperbesar dampak yang diakibatkannya.
Pertama, adalah kebiasaan untuk membuat teori-teori berdasarkan pengetahuannya di masa lalu.
Walaupun masa lalu memang dapat menjadi petunjuk yang baik untuk masa depan, tapi ia tak jarang juga menciptakan kesalahan pengambilan keputusan. Ia menyebabkan manusia jadi rawan melakukan kesalahan karena pengabaian terhadap berbagai faktor lain yang dapat menegasikan narasi-narasi yang telah dibangun tadi.
Ibarat seekor domba yang bertahun-tahun hidup nyaman dan tentram di pekarangan majikannya. Bertahun-tahun dia diberi makan dan bebas mengembek berkeliaran kesana kemari. Berdasarkan pengalaman yang dia alami selama itu, tak ada alasan bagi si domba untuk berfikir bahwa esok hari akan berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Dia tidak pernah membayangkan kalau hari esok adalah hari raya kurban dimana dia akan disembelih sebagai hewan kurban untuk kemudian dagingnya dibagi-bagikan.
Peristiwa yang dialami oleh si domba itu sekedar ilustrasi bahwa melakukan prediksi di masa depan hanya berdasarkan pengetahuan di masa lampau dapat menyebabkan kesalahan dengan potensi konsekuensi yang mengerikan.
Kedua, adalah apa yang diistilahkan dengan bias konfirmasi (confirmation bias). Orang seringkali mencari informasi hanya untuk membuktikan kebenaran keyakinan yang telah dipegang sebelumnya belaka. Secara sadar atau tidak sadar dia sering jadi mengabaikan bukti-bukti lain yang berlawanan atau tidak mendukung pendapat sebelumnya tersebut.
Walaupun kita menyadari bahwa dua sifat diatas berlawanan dengan metode ilmiah, tapi seringkali kita sulit untuk menghindar dari kedua cara pengambilan keputusan yang buruk tersebut. Seolah merupakan kecenderungan yang sudah mendarah daging pada setiap manusia.
Ketiga, adalah kesalahan yang juga biasa terjadi yaitu yang diistilahkan dengan narrative-fallacy. Ia merupakan kesalahan yang terjadi ketika manusia menciptakan narasi-narasi linier untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya kompleks.
Salah satu metode yang digunakan otak manusia dalam mencerap informasi-informasi dari luar adalah melakukan kategorisasi. Walaupun cara ini banyak bermanfaat, tapi cara ini juga memiliki potensi bahaya ketika dihadapkan pada permasalahan saat ini yang begitu kompleks seperti saat ini.

Begitu banyaknya semburan informasi yang kita dapatkan setiap harinya. Otak kita berusaha memilah-milahnya untuk hanya memproses informasi yang dinilai penting saja. Sedangkan informasi-informasi lainnya akan diabaikan. Kemudian bit-bit informasi tersebut kemudian dihubung-hubungkan untuk membentuk sebuah narasi yang menurut kita masuk akal.
Mekanisme ini mengandung risiko kesalahan karena pengabaian berbagai informasi terkait yang jumlahnya nyaris tak terbatas. Padahal faktanya adalah bahwa hal-hal kecil, yang nampak tidak penting dapat memiliki dampak tak terduga yang luar biasa besarnya. Belum lagi kesalahan-kesalahan klasifikasi lainnya yang bukan soal besar kecil, tapi soal salah perlakuan tipe informasi yang menyebabkan pengambilan kesimpulan yang salah.
Keempat, adalah yang diistilahkan dengan ludic fallacy. Yaitu menganggap situasi kehidupan real itu seperti permainan (game) yang punya set aturan tertentu dan berbagai kemungkinan yang dapat ditentukan sebelum permainan dimulai. Menjalankan kehidupan dengan pola pikir seperti ini sangat berisiko. Karena seringkali ancaman terbesar justru datang dari faktor-faktor di luar permainan itu sendiri. Seberapa canggih dan kuatnya usaha kita, takkan mungkin kita dapat menghitung semua risiko secara akurat.
COVID-19 = Angsa Hitam 2020?
Tak ada yang pernah mengira sebelumnya ada sebuah makhluk super kecil tak terlihat yang dapat memorak-porandakan tatanan global dunia seperti yang dilakukan novel corona virus 2019 (NCOV-19) ini. Seluruh dunia dipaksa untuk bertransformasi ke sebuah bentuk dunia baru karena materi tak terlihat ini. Makhluk ini juga mendobrak kepongahan negara-negara maju dan adikuasa. Betapa tak berdayanya mereka dan kita semua menghadapi “angsa hitam” yang pertama mewabah di Wuhan Cina itu.
[Baca juga: Revolusi Digital COVID-19]
Silahkan dibandingkan karakteristik fenomena angsa hitam yang dijelaskan diatas dengan fenomena COVID-19 ini. Ia muncul tiba-tiba tanpa pernah diduga sebelumnya. Dampak dan sikap menghadapinya yang berbeda-beda antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Khas Angsa Hitam. Kesalahan pikir yang melatar belakangi dan datang bersama dengan wabah ini juga kesalahan-kesalahan yang angsa hitam sekali.
Jadi menurut saya, walaupun mungkin agak terlalu dini untuk menyimpulkan, fenomena COVID-19 ini merupakan contoh konkret dan mutakhir dari kemunculan sang angsa hitam di tahun ini. Angsa hitam yang mungkin akan mentransformasikan dunia ke sebuah normal baru. Tapi yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kita seharusnya memaknainya.
Sadar Diri
Kita tentu telah sering mendengar frasa “Knowledge is power“, pengetahuan adalah kekuatan. Tapi, seringkali kita justru terbelenggu dengan apa yang kita ketahui tersebut. Pada saat seperti ini menyadari apa-apa yang tidak kita ketahui barangkali justru lebih bermanfaat bagi kita.
[Baca juga: 3 Lini Pertahanan Risiko]
Ya! Ketika kita fokus pada apa yang kita tahu saja, maka sebenarnya kita sedang membatasi pikiran kita dari semua kemungkinan makna. Hal ini menjadi lahan subur untuk lahirnya angsa-angsa hitam yang menciptakan kejutan-kejutan yang menyakitkan.
Mengetahui keterbatasan kita tentu tidak serta merta menyelamatkan kita dari setiap kesalahan. Tapi setidaknya ia dapat mengurangi potensi kesalahan kita dalam mengambil keputusan.
Misalnya kesadaran bahwa kita sangat mungkin melakukan bias konfirmasi, seperti halnya orang lain juga, maka kita akan terdorong untuk mencari informasi-informasi diluar yang berlawanan dengan pandangan yang sebelumnya telah kita yakini kebenarannya. Juga bersikap kritis terhadap pandangan-pandangan kita sebelumnya dapat menjadi keuntungan kompetitif kita dibandingkan orang lain.
Walaupun kita tak mungkin mampu menaklukkan keterbatasan kita dalam menghadapi demikian tak terbatasnya kemungkinan, namun setidaknya kita dapat berusaha memitigasi risiko yang mungkin ditimbulkan dan tak pernah diduga sebelumnya.
Angsa hitam selayaknya membawa kita untuk sadar diri dan selalu meletakkan setidaknya sedikit keraguan pada kata “sebab”. Karena kita tidak tahu segala sebab. Hanya Dia yang Maha Tahu dan Maha Pencipta segala sebab. Dengan sadar diri, mudah-mudahan kita dapat sadar dan bersama dengan Sang Maha Segala. Kalau kita bisa selalu sadar dan bersama-Nya, maka apa lagi yang mau kita takut dan khawatirkan? [mti/picture: mitsloan]
Penulis: Umar Alhabsyi, ST, MT, CISA, CRISC.
Co-Founder & CEO of iValueIT Consulting (PT IVIT Konsulindo), PT Millennia Solusi Informatika
keren pak Umar…. angsa hitam bernama covid19 ini membuat banyak yang tersentak. Bagaimana dunia industri bisa beradaptasi menerima fakta baru kehadiran angsa hitam ini sebagai realitas yang akan memunculkan situasi penuh peluang ? tantangan sudah pasti. tapi Peluang pasti juga hadir seiring perubahan. apalagi ini dramatis, benar2 bak drama yang tidak berpikir akan hadir dari bingkai layar TV.
Terima kasih, Pak Agus. Betul, ibarat mobil yang lagi jalan kencang lalu dipaksa untuk ngerem mendadak. Dipaksa untuk tidak hanya melihat lurus ke depan, tapi juga melihat kanan dan kiri. Apa yang bisa dilakukan selama mobil berhenti itu. Turun sementara dari mobil untuk jual gorengan, perbaiki/modifikasi mobil agar bisa tetap jalan, belajar cara baru menyetir mobil, atau …..mungkin masih banyak opsi lain yang bisa dilakukan dan bermanfaat.
Tentu banyak juga yang tetap duduk di mobil sambil pencet2 klakson dan marah2 terus menerus. Mudah2an semuanya sehat2 dan terus tumbuh ke arah lebih baik. Aamiin YRA.