Kebijakan Cyber Cina

Cina adalah negara yang terkenal dengan ketatnya sensor negara pada Internet. Pada Kamis kemarin negara tirai bambu itu memperkenalkan sebuah draft model baru dalam tata kelola di dunia Internet sebagai alternatif model akses bebas yang berlaku pada masyarakat “demokratis”.

[Baca juga: Menyoal Keseimbangan dalam Tata Kelola Internet Dunia]

Serangan cyber, spionase cyber, pengawasan menjadi isu-isu utama yang dihadapi semua negara,” kata koordinator divisi hubungan cyber kementrian luar negeri  Cina, Long Zhou.

Cina sudah lama memberlakukan standard sendiri di dunia cyber seperti penyensoran, privasi data dan regulasi binis atas nama keamanan nasional. Draft kebijakan baru ini menyatakan bahwa setiap negara mesti meletakkan otoritas kedaulatannya di atas segala hal terkait cyber di dalam teritorial mereka.

“Internet begitu penuh dengan pemikiran-pemikiran subversif, ekstrimisme relijius, pornografi, berita palsu dan penipuan finansial,” lanjut Long. Dan untuk itu Cina siap bekerja bersama dengan Rusia dan mitra BRICS lainnya, maupun negara-negara lainnya untuk melakukan langkah-langkah perbaikan dalam tata kelola Internet dunia ini.

BRICS merupakan organisasi negara-negara kekuatan ekonomi baru yang terdiri atas Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan. Tahun ini Cina berlaku sebagai tuan rumah dalam pertemuan negara-negara tersebut sebagai bagian dari usaha untuk terus meningkatkan status kelompok ini di dunia Internasional.

Pada konferensi 2015 yang lalu, Presiden Xi Jinping sangat mendorong dilakukannya perubahan kepemimpinan Internet global. Pada konferensi tersebut, Presiden Xi Jinping mengatakan bahwa disamping terdapat kebutuhan untuk menghormati kebebasan berekspresi, dunia juga membutuhkan untuk membuat ruang cyber yang sehat dan menghormati kedaulatan serta aturan hukum yang berlaku.

Dengan justifikasi penghormatan terhadap kedaulatan inilah utamanya yang mendasari Cina untuk melakukan pensensoran Internet secara masif, walaupun banyak dikritik telah menghambat kebebasan berekspresi dan perdagangan bebas. Para pejabat Cina telah mendakwahkan konsep ini pada berbagai forum internasional sejak beberapa tahun belakangan ini. Cina mengatakan bahwa negara-negara berkembang seharusnya bergabung dengan Beijing dalam menuntut tata kelola Internet global yang lebih adil, yang saat ini didominasi oleh Amerika Serikat dan konsep liberal Barat.

Mekanisme penyensoran canggih Cina, yang dinamakan dengan “Great Firewall”, tersebut telah memblokir banyak situs berita asing dan platform media sosial seperti Twitter, Facebook dan YouTube. Pemerintah Cina juga memperluas otoritas polisi untuk dapat mengambil data personal  atas nama penegakan hukum.  Diskusi-diskusi yang dilakukan secara online tentang topik-topik sensitif seperti misalnya tentang Tragedi Tiananmen 1989 akan dengan segera terkena penyensoran.

Pemerintah Cina kembali mengulang dan memperluas ajakannya kepada komunitas Internasional untuk bersama Cina mendukung reformasi tata kelola Internet dunia. Demikian sebagaimana dilaporkan Associated Press, Kamis (2/3/2017) kemarin.

Cina menegaskan bahwa dengan populasi Intenet terbesar di dunia dan teknologi majunya, mereka bersedia untuk berbagi kebijakan, pengalaman dan sumber daya pengelolaan Internet nya dengan negara-negara lain. Cina akan sangat menyambut baik khususnya bagi negara-negara berkembang yang akan mempelajari model tata kelola yang mereka tawarkan. Tapi Beijing tidak akan memaksakan nilai-nilainya kepada negara-negara tersebut. Karena setiap negara tentu memiliki tradisi, budaya, serta kondisi yang berbeda-beda.

Setiap negara perlu untuk memutuskan keseimbangan masing-masing atas kebebasan dan pengaturan dan kami harus menghormati bagaimana setiap negara dalam pengambilan keputusannya”, lanjut Long.

Cina juga memperingatkan bahwa militer Cina akan terus memperkuat kemampuan pasukan Cyber mereka sebagai bagian penting dari modernisasi militer. Walaupun di sisi lain mereka mengatakan bahwa Cina tidak mempercayai bahwa perlombaan senjata akan kondusif terhadap perdamaian dunia.

Long mendorong negara-negara lain untuk memelihara hubungan saling menghormati dan dialog dibanding meningkatkan konfrontasi. Ini sekaligus juga menjadi bantahan atas tuduhan bahwa negaranya berada di balik sejumlah serangan cyber yang dialami beberapa negara belakangan.

[Baca juga: Cybersecurity, Amerika Serikat, dan Indonesia]

Pemerintah Amerika Serikat secara publik pernah menyatakan frustasinya dengan serangan para peretas Cina di waktu yang lampau dan mendakwa lima peretas militer Cina dengan tuduhan spionase pada 2014.[manajemen-ti/AP/picture:katehon]