
Kombinasi dari smartphone, tablet dan piranti-piranti lain yang saling terhubung telah menciptakan gelombang deras data baru untuk bisnis yang perlu disimpan dan diproses. Berbagai sumber dan jenis data turut meledak seiring dengan meledaknya penggunana mobile, “Internet of things” dan media sosial yang menghasilkan trilyunan byte data baik yang terstruktur maupun tidak terstruktur, atau yang umum dikenal dengan “big data”. Walaupun konsep untuk mengelola guyuran informasi seperti ini sebenarnya bukan hal baru, tapi tantangan dalam berurusan dengan 3-V (Volume, Variety, dan Velocity) pada manajemen data telah masuk ke dalam babak baru dengan maraknya sumber-sumber data tak terstruktur, seperti media sosial, data aplikasi mobile, video, sensor-sensor dan dan piranti terkoneksi lainnya.
“Volume” disini mengacu pada jumlah konten yang harus dapat ditangkap, disimpan dan diakses oleh bisnis. Adapun “Variety” merupakan ragam tipe data yang tidak dapat dengan mudah ditangkap dan dikelola dalam sebuah database relational tradisional. Misalnya, bisnis membutuhkan untuk menangkap data baru seperti lokasi, pergerakan dan kondisi lingkungan seperti temperatur dan kelembaban, dll. Ia harus menangkap pula gambar dan video sebagai pendukung data lain yang lebih terstruktur (misalnya dalam bentuk form-form). Sedangkan “Velocity” mengacu pada kebutuhan analisis data dalam waktu yang mendekati real-time. Sementara solusi-solusi yang ada seperti Data Warehouse dan Business Intelligence tidak didesain untuk mendukung 3-V ini. Berbeda dengan solusi-solusi big data yang memang dikembangkan dengan latar belakang tantangan-tantangan tersebut.
Dua minggu lalu, IBM meluncurkan hasil dari studi yang dilakukan bersama dengan University of Oxford. Hasil lengkap dari studi tersebut dapat dilihat disini. Studi ini mensurvey 1061 perusahaan dari berbagai belahan dunia. Survey ini menemukan bahwa 28 persen dari perusahaan tersebut sedang melakukan aktifitas piloting ataupun implementasi big data. IBM menggaris bawahi bahwa adopsi big data terdiri atas 4 fase, sebagai berikut:
- “Educate”. Fase ini fokus pada pengumpulan pengetahuan dan observasi market
- “Explore”. Setelah menyelesaikan fase edukasi, perusahaan menyusun strategi dan roadmap berbasis kebutuhan dan tantangan bisnisnya
- “Engage”. Selama fase ketiga ini, bisnis melakukan pilot inisiatif big data untuk memvalidasi value dan kebutuhan-kebutuhannya.
- “Execute”. Perusahaan pada fase keempat ini telah menerapkan dua atau lebih inisiatif big data dan akan melanjutkan dengan inisiatif analytics lanjutannya.
Dari 1061 perusahaan yang diwawancara, 24 persen diantaranya berada pada fase “educate” dan 47 persen lainnya pada fase “explore”. Hanya 6 persen dari responden yang telah mencapai fase “execute”. Studi ini menyimpulkan bahwa leadership pada big data ini telah bergeser dari IT ke pimpinan bisnis seiring dengan pergeseran organisasi dalam tahapan-tahapan pengadopsiannya.
Pada kesempatan lainnya, IBM mendiskusikan temuan penelitiannya ini dan memberikan beberapa rekomendasi kepada perusahaan. Bahwa untuk menciptakan value dari big data, IBM mengungkapkan bahwa sebuah perusahaan mesti:
- Memberikan komitmen dari usaha awalnya untuk outcome yang bersifat customer-centric
- Menyusun cetak biru big data yang komprehensif pada tingkatan korporat
- Mulai dengan data yang ada untuk mencapai hasil jangka pendek
- Bangun kemampuan analytic berbasis pada prioritas-prioritas bisnis
- Buat business case berdasarkan outcome yang terukur
Data selalu ada di sekeliling kita. Adanya jejaring sosial dan piranti mobil menciptakan lebih banyak data lagi. Kini, kita memiliki peluang untuk menyimpan dan menganalisis data-data ini lebih efektif dibanding di masa yang lalu. Namun sayangnya tidak ada solusi yang “satu ukuran yang cocok untuk semua” untuk big data. Kebutuhan-kebutuhan solusi akan bervariasi berdasarkan kriteria seperti misalnya kebutuhan real-time analytics, kebutuhan untuk mendukung ragam data tidak terstruktur dan volume data. Seperti kita lihat dari studi IBM ini, pengadopsian big data sekarang masih dalam masa kanak-kanak. Hal ini akan berubah seiring dengan kematangan solusi dan seiring usaha perusahaan dalam mencari cara untuk dapat memanfaatkan data untuk menciptakan keuntungan kompetitif. [manajemen-ti/forbes/picture:net]